Gelar Jurnalisme Bencana, Pokwan Bogor Ingin Pewarta Punya Panduan Peliputan Kebencanaan
Karena itu, rekonstruksi dan juga pembangunan lingkungan korban terdampak bencana, sering kali tidak mengambil "pesan" dari bencana yang datang sebelumnya.
Misalnya, gempa Padang yang meruntuhkan banyak bangunan gedung dan berakibat korban tertimpa reruntuhan bangunan.
Menurut Arif yang juga mengenyam pendidikan arsitektur, masyarakat di lokasi rawan gempa harusnya mengambil pelajaran dari akibat gempa dengan mendirikan bangunan tahan gempa. Nyatanya, sedikit yang melakukan itu.
"Kita masih beranggapan membangun bangunan seperti itu sebagai beban, bukan sebagai investasi. Padahal bangunan dengan konstruksi tahan gempa itu bisa meminimalisir resiko," kata dia.
Demikian juga dengan lokasi bencana banjir, longsor dan tsunami. Pada banyak lokasi yang dulunya porak poranda karena dilanda bencana seperti itu, malah menjadi hunian yang hari ini semakin padat penduduknya.
Meskipun tidak diinginkan, bencana selalu menjadi peristiwa yang berulang. Dengan kata lain, bencana bencana berpotensi terjadi lagi.
"Contohnya gempa Cianjur, itu kan bukan pertama kali terjadi. Pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ada dokumen Belanda yang melarang membangun bangunan gedung di beberapa lokasi di Cianjur," kata dia.
Arif berharap apa yang dia paparkan bisa menjadi wawasan bagi jurnalis dalam liputan dan pemberitaan bencana. Mitigasi atau upaya pencegahan, pemberitaan persitiwa, dan pemberitaan pascabencana atau rekonstruksi kehidupan harus mengedepankan saintifik agar masyarakat tercerahkan.
Pokwan Kabupaten Bogor menggelar kegiatan bertajuk Jurnalisme Bencana, demi memberikan pemahaman kepada pewarta akan peliputan kebencanaan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jabar di Google News