Gelar Jurnalisme Bencana, Pokwan Bogor Ingin Pewarta Punya Panduan Peliputan Kebencanaan
"Tentunya, jurnalis dituntut kecepatan dan keakuratan data saat menyampaikan informasi bencana tersebut," kata dia.
Namun, tak jarang untuk "memikat" pembaca, jurnalis malah terjebak pada narasi-narasi irasional. Satu peristiwa kebencanaan kerap kali dibumbui hal-hal mistis.
Selain itu, dalam beberapa kasus, ada praktik cemar yang dilakukan segelintir jurnalis yang salah menjelaskan istilah kebencanaan.
Karena kesalahan itu, kemudian berita yang diproduksi malah menimbulkan kepanikan dan berpotensi menambah jumlah kerugian serta beban psikologis yang ditimbulkan.
Masalah lainnya, kata Arif, juga kadang datang dari sikap jurnalis itu sendiri dalam memperlakukan korban sebagai narasumbernya.
"Pertanyaan bagaimana perasaan Anda? Apakah ada firasat sebelumnya? Masih sering ditemukan," kata dia.
Namun, kata Arif, hal itu tidak sepenuhnya kesalahan jurnalis yang meliput di lokasi bencana. Pertanyaan tersebut, kata dia, kadang memang menjadi "titipan" redaktur media tempat si reporter bekerja.
Untuk menarik minat pembaca, pemberitaan dan juga gambar yang dramatis menjadi salah satu tugas yang diberikan redaktur kepada reporter yang meliput di lapangan.
Pokwan Kabupaten Bogor menggelar kegiatan bertajuk Jurnalisme Bencana, demi memberikan pemahaman kepada pewarta akan peliputan kebencanaan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jabar di Google News