IAW: Niat Baik Presiden Prabowo Soal Sawit Bisa Hancur di Tangan Anak Buah Sendiri

Menurut regulasi, suatu aset baru bisa diakui secara sah setelah melalui tiga proses penting, mulai dari pelepasan status kawasan oleh KLHK, pencatatan sebagai Barang Milik Negara (BMN) oleh Kementerian Keuangan, dan persetujuan DPR.
“Kalau tiga langkah ini belum terpenuhi, lahan itu belum sah disebut sebagai aset negara,” katanya.
Iskandar juga menyoroti klaim Agrinas yang menyebut bahwa lahan tersebut telah diserahkan oleh Satgas Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PKH).
Menurutnya, satgas ini tak memiliki kewenangan untuk mengalihkan pengelolaan lahan ke BUMN.
"Satgas PKH hanya bisa mendata dan merekomendasikan, tidak berwenang menyerahkan atau memindahkan pengelolaan aset ke BUMN. Kalau PT Agrinas Palma Nusantara sudah mengelola lahan sawit hanya bermodal rekomendasi Satgas PKH, itu keliru besar secara hukum," tegas Iskandar.
Lebih lanjut, kata Iskandsr, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama dua dekade terakhir telah berulang kali mengungkap maraknya sawit ilegal di hutan Indonesia.
LHP BPK tahun 2020 mencatat 2,4 juta hektar lahan sawit ilegal yang merugikan negara dalam bentuk pajak dan denda lingkungan.
Oleh karena itu, Iskandar mengingatkan kasus serupa seperti Duta Palma Group seharusnya menjadi pelajaran agar lahan bermasalah tidak diberikan kepada BUMN, melainkan dikembalikan ke fungsi awalnya sebagai kawasan hutan.
IAW mendesak agar DPR dan Kementerian Keuangan tidak terburu-buru mengakui lahan sawit ilegal sebagai aset negara.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jabar di Google News